Sunday, July 3, 2011

Menyingkap Tabir Sirah: "JULAIBIB"

PUT YOUR TRUST TO ALLAH...100% INSYA-ALLAH (^-^)
ya Allah... ya Allah... ya Allah...

Bismillahirrahmanirrahim....
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...
Moga semua dalam rahmat-NYA
InsyaAllah



Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fizikalnya; kerdil. Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bondanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mahu tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat sosial yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. Penampilan fizikal dan kehidupannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangat. Pendek. Hitam.Miskin. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasutkan pasir dan kerikil. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”


Demikianlah Julaibib..... kasihan Julaibib.
Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhluk pun dapat menghalanginya. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam solat maupun di medan jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi saw. “Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau mahu menikah?”




“Siapakah orangnya Ya Rasulullah”, kata Julaibib, “yang mahu menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Qanaahnya Julaibib, ikhlas akan kejadian dirinya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau mahu menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.



Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Ansar. “Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah, “menikahkan putri kalian.”


“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahawa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulullah,ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”

“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis.

“Ya. Untuk Julaibib.”
“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini”

“Dengan Julaibib?”, isterinya berseru, “Bagaimana mungkin? Julaibib berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”
Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, kerana Rasulullah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang solehah lalu membaca ayat ini :

“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata 
 (QS. Al Ahzab : 36)

Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis solehah, 

“Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Doa yang indah.


***
Kita belajar dari kisah Julaibib untuk tetap mensyukuri diri sendiri, untuk tidak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Indahnya kejadian Julaibib... punya hati bak mutiara, sungguh suci.... sesuci haruman ar-raihan... J mungkin di dunia dia hanya insan biasa, jauh nun di sana... di taman raudhah yang kekal abadi, dia di nanti jutaan bidadari syurgawi....

Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan risaukan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihi yang kita sanggup memikulnya.

Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertakwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita.

Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak!
***
Maka benarlah doa sang Nabi. Maka Allah kurniakan jalan keluar baginya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri solehah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib telah dihajatkan langit mesti tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni syurga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat padanya.
Saat syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi ia akan mengajarkan sesuatu kepada para sahabatnya. Maka ia bertanya di akhir pertempuran. 

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak Ya Rasulullah!”, seremtak sekali. Sepertinya Julaibib memang tiada beza ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, Sang Nabi bertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.

“Tidak Ya Rasulullah!”. Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.

Rasulullah menghela nafasnya. Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.

Para sahabat tersedar.

“Carilah Julaibib!”
Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputarannya terbujur tujuh jasad musuh yang telah ia bunuh. Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengkafani Sang Syahid. Beliau saw mensolatkannya secara peribadi. Dan kalimat hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci. Kerana hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi. Kerana seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Maka taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas.

Tapi yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan berakhir seindah syurga. Syurga yang telah dijanjikanNya..

dia adalah bagian dari diriku
dan aku adalah bagian dari dirinya
-Rasulullah, tentang Julaibib-
 yang penting punya taqwa sebagai hiasan terindah...

1 comment:

linkWithin

Related Posts with Thumbnails