Pemahaman Aqidah yang benar sangat mempengaruhi setiap gerak langkah kehidupan seseorang dan ketangguhan masyarakat. Kekuatan aqidah akan memancar dalam sikap hidup, yang merupakan formulasi
‘Laa ilaaha illallah’ dalam wujud yang nyata, sehingga seseorang akan mampu tampil sebagai bagian dari generasi yang unik dengan kedudukan istimewa. Generasi yang menjadikan kalimat itu sebagai ‘tali pengikat’ antara ia dengan Rabbnya, dan antara ia dengan sesama muslim. Aqidah sebagai landasan masyarakat, membentuk masyarakat tauhid yang unggul dan unik.
Pengertian Syahadat
Firman Allah SWT:
Artinya: ”Katakanlah: ’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al A’raf: 158)
Atas dasar ayat tersebut, maka kalimat syahadat itu sebagai berikut:
“Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad itu Rasul Allah.”
Kalimat tersebut bernama
“Dua Kalimat Syahadat” karena ia mengandung dua syahadat (persaksian). Syahadat pertama yaitu
Laa illaha illallah yang artinya:
Tidak ada Tuhan selain Allah, kalimat ini disebut juga kalimat tauhid. Syahadat kedua yaitu
Muhammadar Rasulullaah yang artinya
Muhammad adalah rasul Allah. Kedua kalimat ini merupakan kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah An-Nisaa’ ayat 150-151:
Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasul-Nya dengan mengatakan: ’Kami beriman kepada yang sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan….” (QS. An-Nisaa’: 150-151)
Makna Laa ilaaha illallah
Syahadat pertama menegaskan eksistensi Allah sebagai Tuhan satu-satunya.
Kata Allah berasal dari kata
‘Ilah’ yang berarti
‘ma’bud’ (yang disembah), sesuatu yang dianggap berkuasa dan akbar, yang mempunyai nilai yang patut disembah dan ditaati dengan sepenuh hati. Dialah Dzat yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, dan manusia yang hidup di dunia ini membutuhkan dan memerlukan pertolongan-Nya. Pengakuan terhadap keesaan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, mengandung kesempurnaan kepercayaan kepada-Nya dari tiga segi:
1.
Rububiyah, iaitu sifat ketuhanan yang menciptakan alam, memelihara dan mendidiknya. Dzat yang bernama Allah saja yang menciptakan alam semesta ini dengan seluruh isinya.
2.
Uluhiyyah, segi ini adalah konsekuensi dari segi yang pertama, yaitu Dzat yang bernama Allah saja sebagai Tuhan satu-satunya yang wajib disembah dan diminta pertolongan.
3.
Tauhidullah dalam Asma dan Sifat-Nya. Ada tiga asas yang harus kita penuhi dalam mentauhidkan asma dan sifat-Nya, iaitu:
- Mensucikan dan mengagungkan Allah dalam hal kesempurnaan-Nya untuk tidak menyamakan-Nya dengan mahluk-Nya.
- Kita harus menerima ketetapan nama-nama dan sifat-sifat Allah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini harus diyakini kebenarannya.
- Tidak menafsirkan asma dan sifat-Nya berdasarkan pendapat dan akalnya sendiri dan tidak menggambarkan-Nya.
Kalimat
‘Laa ilaaha illallah’ pada pokoknya
mengandung dua perkara yang fundamental di dalam Islam. Kedua hal ini ibarat dua sisi dari sebuah mata uang, sehingga bila hilang satu diantaranya, cacatlah ia, dan tidak ada harganya lagi.
Laa ilaaha illallah mengandung makna menolak segala ketuhanan dan penuhanan kepada selain Allah, dan hanya mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang kepada-Nya wajib diberikan segala pengabdian. Konsekuensi dari
kesaksian Tauhidullah ini adalah menerima Allah sebagai sumber kebenaran mutlak, menerima segala yang datang dari Allah tanpa keraguan dan syak prasangka, serta wajib menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan menghindari segala yang terlarang berdasarkan pandangan-Nya. Secara ringkas, yang dimaksud kalimat
Laa ilaaha illallah mencakup beberapa pengertian, yaitu:
- Hanya Allah yang berhak diibadahi (Laa ma’buda bi haqqin illallaah)
- Hukum mutlak bersumber dari-Nya (Laa haakim illallaah)
- Tidak ada penguasa mutlak kecuali Allah. Dialah Rabb semesta alam, penguasa dan pengatur (Laa maalik illallaah)
- Tidak ada pencipta di dunia ini kecuali Allah (Laa khaliq illallaah)
- Tak ada yang bisa memberi rezeki selain Allah (Laa raaziq illallaah)
- Tidak ada ilah yang dapat menghidupkan dan mematikan kecuali Dia (Laa ilaaha illa huwa yuhyi wa yumiit)
- Tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat selain Dia yang Mahakuasa (Laa nafi wa laa dlarr illallaah)
- Tidak ada daya dan kekuatan selain kekusaan Allah (Laa haula walaa quwwata illaa billaahi)
- Tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah (Laa yatawakkal illaa ‘allallaah)
- Tidak ada yang bisa mengabulkan doa kecuali Allah (Laa mujiibat da’awaat illallaah)
- Tidak ada dien selain Islam (Laa dienal ilaa dieinallah)
- Hanya Allah saja yang patut disembah (Laa khasy yata walaa khaufa illaa ‘alallaah)
- Allah sebagai pusat kerinduan (Laa ghaayatal hubb illa lillaah )
Seseorang yang mengikrarkan
tauhiddullah memiliki tanggung jawab moral untuk berusaha mewujudkan pernyataan:
Artinya:
”Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam”. (QS Al-An’aam: 162)
Masih banyak umat Islam yang belum memahami makna kalimat tauhid. Oleh karena itu, mereka bersedia menerima dan menetapkan
uluhiyyah selain Allah. Mereka tidak merasa bahwa perbuatan mengeramatkan kuburan, senjata (mis. Keris), batu-batuan, jin, bahkan menuhankan manusia itu adalah pekerjaan sesat. Bahkan, mereka menolak dan mengekang bila diajak kepada ajaran tauhid yang sebenarnya.
Makna Muhammadar Rasulullaah
Syahadat kedua ini memberi arti kepada yang telah mengucapkan, dia menyatakan diri tunduk, percaya dan menjadi pengikut Muhammad saw. Juga, dia harus mengikuti kemimpinan dan sunnah beliau.
Artinya:
”…apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah ia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr :7)
Dalam syahadat kedua ini terdapat tiga pengetahuan yang asasi.
Pertama, Nabi Muhammad saw adalah nabi dan rasul Allah untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Artinya:
”Dan tiada Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia untuk menyampaikan berita gembira dan memberi peringatan” (QS. Saba: 28)
Kedua, Nabi Muhammad saw itu adalah nabi dan rasul Allah yang terakhir, sesudah beliau tidak akan datang lagi seorang nabi dan rasul. Oleh karena itu, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang terakhir, tidak akan lagi wahyu yang diturunkan sesudah Al-Qur’an ini. Al-Qur’an menjadi kitab suci terakhir pengganti dan penyempurna dari kitab-kitab suci sebelumnya.
Artinya:
”Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Muhammad itu adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi dan Allah mengetahi tiap-tiap sesuatu” (QS. Al-Ahzab: 40)
Ketiga, Muhammad itu adalah penghulu seluruh nabi dan rasul (
sayiydul anbiya’ wal mursaliin), dan ia adalah semulia-mulia nabi dan rasul.
Artinya:
”Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagian Allah meninggikannya beberapa derajat….” (QS. Al-Baqarah: 253)
Konsekuensi Syahadat
Mengucapkan dua kalimat syahadat mengandung konsekuensi; seseorang menjadi muslim dan diberlakukan kepadanya semua hukum-hukum Islam. Ucapan syahadat itu harus disertai dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw kini telah sampai kepada kita dalam bentuk Al Qur’an al-Kariim yang harus dilaksanakan secara utuh.
Dalam sebuah tulisannya,
Imam Qurthubi mengatakan bahwa tidak cukup menjadi muslim hanya dengan membaca
syahadatain. Ketauhidan seseorang baru bisa dikatakan sah apabila disertai dengan ilmu, keyakinan, keikhlasan, kejujuran, dan penuh rasa tanggungjawab.
Syarat kesaksian yang benar adalah dengan memahami maknanya secara benar serta mengenalkan segala ketentuanya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Selain itu, dalam jiwa kita harus ditumbuhkan suatu keyakinan yang kokoh untuk tidak menyekutukan Allah. Sembahan-sembahan selain Allah hanya akan menyesatkan dan sedikit pun tidak akan memberikan manfaat kepada kita:
Artinya:
”…Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan hanya seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air (untuk menciduk air), supaya air itu sampai ke mulutnya, padahal ayat itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka”. (QS. Ar-Ra’du: 14)
Sebagai konsekuensi dari kalimat yang kedua adalah
wajib bagi kita untuk mengambil hukum yang datang dari Rasulullah, meneladaninya, serta mengembalikan semua hukum-hukum kepadanya. Mengikuti apa yang disampaikannya baik perkataan maupun perbuatan, serta memperingatkan orang-orang yang menyalahi perintahnya.
Artinya:
”Barang siapa yang taat pada rasul maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah …” (QS. An-Nisaa’: 80)
Artinya:
”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu…” (QS. Ali Imran: 31)